Jumat, 20 November 2009

Batiak/Batik Tanah Liek


Batiak Tanah Liek di Kabupaten Pesisir Selatan

Walaupun dunia batik menjadi perdebatan dan saling klaim antar negara bangsa –negara mana yang berhak menjadi negara pemegang paten batik, hal inilah yang menjadi perdebatan antara Indonesia dan Malaysia akhir-akhir ini. Terlepas dari masalah tersebut, batik sebenarnya tidak bisa dipisahkan begitu saja dengan masyarakat indonesia, karena memang menurut banyak sejarah batik tidak bisa dipisahkan dengan budaya Indonesia bahkan organisasi PBB sudah memberikan label batik sebagai warisan dunia dari Indonesia. Batik menjadi ikon tersendiri bagi masyarakat Indonesia, bahkan batik menjadi trend ditengah masayarakat tertentu, karena batik mengandung banyak makna – sebagai contoh masyarakat Jawa – bagi yang memakainya. Setiap corak atau motif akan mempunyai arti dan lambang tersendiri dan pantas dipakai pada waktu tersendiri pula.
Batik di Indonesia memang sangat identik dan dikaitkan dengan kultur atau budaya Jawa, namun bukan berarti daerah, suku lain tidak mempunyai ciri khas batik tersendiri. Batik di Indonesia juga ditemukan di kalimantan dan juga di Sumatera (Sumatera Barat, Aceh, Jambi, Kalimantan, dan daerah lainnya). Terkadang sulit dipercaya, di Sumatera Barat (Sumbar) yang selama ini terkenal dengan kain songket, bordiran dan sulaman ternyata juga mengenal batik.
Keberadaan batik di Sumbar mengalami pasang surut, setelah lama hilang dari peredaran dan terkesan langka pemakainya, bahkan sangat jarang dipakai lagi dalam pakaian adat, sekarang mulai muncul lagi sebagai sebuah budaya lokal yang harus dikembangkan. Mulai dikenalnya kembali batik di Sumbar sekitar tahun 1993 berkat usaha oleh seorang perempuan yang sudah lama bekerja dalam usaha bordiran yang bernama Wirda Hanim, niatnya karena ingin membangkitkan kembali batik ciri khas Sumbar ini ditengah masyarakat2.
Sejak lama, Sumatera Barat terkenal dengan bordir dan sulamannya. Namun, sesungguhnya Tanah Minang masih menyimpan satu jenis kain yang tidak kalah indahnya. Kain itu dikenal dengan sebutan batiak tanah liek. Kalau dilihat sekilas, batiak tanah liek tidak jauh berbeda dengan batik umumnya, namun batik tanah liek punya keunikan tersendiri yang mana dalam proses pembuatan batik tanah liek ini dari bahan dasar tanah liat. Keunikan itu juga dikaui oleh tim dari Amerika Serikat yang tergabung dalam Textile Odyssey San Fransisco yang sengaja mengunjungi Sumatera Barat dan melihat langsung workshop Batik Tanah Liek ini. Batik tanah liek Pesisir Selatan nan eksotik pun tak mau ketinggalan. Sudah sejak lama batik Pesisir Selatan (Pessel) membuktikan diri eksis sebagai salah satu fashion bergengsi di negeri ini.



2 www.padangekspres.com, menghidupkan kembali batik tanah liek


Sebenarnya batik ciri khas Sumatera Barat – tersebar pada tiga daerah yaitu, Kabupaten Pesisir Selatan, Padang dan Dharmasraya – dikenal dengan sebutan Batiak Tanah Liek (batik Tanah Liat), yang mana bahan dasar dari pembuatan batik berasal dari tanah liat dan warna dasar batik itu adalah coklat seperti warna tanah. Seperti batik di tanah jawa yang dikenal dengan macam-macam motif (sidomukti, parang rusak, trumtum), di Sumbar juga mengenal berbagai macam motif kuno (kuda laut dan burung hong) dan sekarang adanya paduan dengan motif lukisan pada kain batik itu, antara lain (tumbuhan merambat atau akar berdaun, keluk daun pakis, pucuk rebung, itik pulang petang) dll. Walaupun tidak terlalu kental dengan budaya setempat, di Ranah Minang1 Batik tidaklah terlalu asing. Ini dapat kita lihat dari pemakaian batik oleh para bundo kandung2 dalam upacara adat. Uniknya, batik tersebut digunakan bersama kain songket dengan talakuak3. Pemakaian batik berupa selendang mempunyai kekhasan tersendiri yang mana selendang batik itu diselempangkan antar bahu ke bahu. Selain itu juga batik tanah liek pada masa lalu di pakai oleh para penghulu4 berupa selendang dalam pakaian adatnya.
Jika batik daerah lain banyak mengadopsi motif-motif flora, motif batik tanah liek Pessel banyak terinspirasi dari binatang-binatang laut seperti, kuda laut, dan biota lain. Hal ini disebabkan topografi daerah Pessel yang terletak di pesisir pantai sehingga masyarakatnya sangat akrab dan dekat dengan laut. Sehingga biota laut yang beranekaragam dan memiliki keindahan tersendiri menjadi inspirasi untuk menciptakan karya seni atau kerajinan tangan seperti batik ini.
Batik Pessel ada mempunyai sembilan motif, delapan motif laut dan 1 motif flora, yakni kaluak paku untuk pinggir kain. Sejarah batik tanak liek Pessel berawal sejak zaman dulu, saat batik berupa selendang dipakai hanya untuk acara adat. Warna batik hanya ada dua, warna tanah dan hitam.
Warna tanah didapatkan dari merendam kain dalam larutan tanah liat. Sedangkan warna hitam diperoleh dari larutan kulit jengkol yang direndam dalam air5. Seiring perkembangan zaman, dan tuntuan pasar, batik tanak liek Pessel berkembang menjadi aneka fashion seperti baju stelan, pakaian gamis, jilbab dan kemeja atau baju koko untuk laki-laki. Warna pun kian beragam seseuai selera pasar. Ada warna-warna cerah, seperti merah, merah muda, biru, hijau hingga warna-warna soft dan perpaduan warna yang cantik. Dasar kain tidak hanya sutera yang ringan dan nyaman tapi juga ada santung dobi dan lainnya. Hingga kini batik tanah liek Pessel sudah berkibar di mana-mana, baik di nusantara maupun mancanegara.
Selain dasar pembuatan batik dari tanah liat. Sekarang sudah terdiri dari bahan pewarna alam lainnya. Ada yang dari kulit jengkol, kulit rambutan, gambir, kulit mahoni, daun jerame dan masih banyak akar-akar lainnya yang juga digunakan.
1 Ranah Minang (tanah Minang) sebutan lain dari daratan Prov. Sumatera Barat yang didiami oleh mayoritas suku Minangkabau.

2 Ibu-ibu (red)

3 penutup kepala perempuan dalam pakaian adat Minangkabau yang menyerupai tanduk kerbau.

4 Kepala Adat Suku Minang kabau.

5 www.padangekspres.com, menghidupkan kembali batik tanah liek


Perkembangan batik tanah liek
Pada masa dahulu, batik dipakai dalam pakaian adat oleh penghulu, ini mencerminkan bahwa batik sudah lama dan dekat dengan budaya di Sumatera Barat khususnya di Pesisir Selatan. Karena itu untuk mengembangkan budaya daerah pemerintah daerah (pemda) berusaha memperkenalkan batik ini baik tingkat lokal, nasional maupun internasional. Langkah pertama yang diambil Pemda adalah melakukan promosi lewat pameran tingkat kabupaten dan provinsi seperti ikut event “Padang Fair”, menggalakkan pemakain batik tanah liek ini ditingkat daerah dan dengan mewajibkan bagi PNS di lingkungan Pemda Pesisir Selatan untuk memakai batik tanah liek setiap hari jumat serta mewajibkan bagi istri-istri pejabat daerah untuk memakai batik tanah liek dalam acara resmi daerah. Di tingkat nasional pemda mencoba melakukan promosi dengan memberi souvenir/cinderamata cuma-cuma kepada pejabat dalam kunjungan ke Kabupaten Pesisir Selatan dengan maksud agar batik tanah liek bisa dikenal banyak orang dari luar daerah. Selain itu juga ikut dalam pameran-pameran dalam Pekan Raya Jakarta (PRJ).dan pagelaran seperti pagelaran mode Fashion Exploration di Jakarta Convention Center (JCC). Pada tingkat internasional juga ikut dalam pameran-pemeran ke Malaysia, Singapura, Brunei Darussalam dan Belanda.


Problem pengembangan
Masalah pokok dalam pembangunan daerah yaitu terletak pada penekanan terhadap kebijakan-kebijakan pembangunan yang didasarkan pada kekhasan daerah yang bersangkutan dengan menggunakan potensi sumberdaya manusia, kelembagaan, dan sumber daya fisik secara lokal (daerah).
Setelah di jelaskan diatas, bahwa sudah adanya usaha dalam pengembangan batik tanah liek oleh pemerintah daerah, namun usaha ini belum maksimal karena belum adanya keterlibatan pihak swasta. Absennya keterlibatan pihak swasta ini terkait dengan kendala atau problem pengembangan batik di Pesisir Selatan, yaitu :
  1. Promosi masih banyak bergantung pada Provinsi
Promosi memang sudah dilakukan oleh pemerintah daerah, baik lokal, nasional maupun internasional, namun kendala ini promosi khusus promosi keluar negeri adalah karena minimnya dana pemerintah daerah. Memang sangat tidak memungkinkan sebuah Kabupaten yang termasuk dalam kategori daerah tertinggal di Indonesia dapat secara mandiri melaukan promosi keluar negeri. Maka tak aneh lagi promosi batik tanah liek ciri khas pesisir selatan ke luar negeri masih bergantung pada promosi bersama dengan provinsi .
  1. Pemasaran
Faktor pementu utama pertumbuhan ekonomi suatu daerah adalah berhubungan langsung dengan permintaan akan barang dan jasa dari luar daerah. Melihat dari pemasaran tanah liek ini masih jauh bila dibandingkan dengan batik dari tanah liek. Kendala ini sebenarnya juga akibat belum adanya dukungan dari pihak swasta. Pemasaran batik tanah liek masih pada daerah tertentu, di tingkat lokal hanya pada outlet tertentu di Kota Padanf dan diluar negeri misalnya Malaysia (negeri sembilan).



  1. Terbatasnya Produksi

terbatasnya produksi ini sebenarnya pokok problem yang harus di pecahkan terlebih dahulu, mengapa dikatakan demikian, karena dapat berefek pemasaran dan dan pengembangan batik ini slenjutnya dan juga menentukan apakah batik ini dapat dijadika sumber ekonomi daerah. Produksi yang terbatas adalah imbas dari pada Masih minimnya SDM masyarakat, ini dapat dimaklumi karena dalam pembuatan batik tanah liek harus adanya keahlian khusus dan pengalaman dan ketekunan. Selain itu adalah modal dalam pengembangannya karena bahan baku dalam pembuatan batik tanah liek yang berkualitas masih tergolong mahal.




Perlukah berganti Nama??

Sangat menarik ketika membaca tulisan ridwan hendri dalam Majalah Tempo (edisi 26 Oktober – 1 November 2009 ) dengan judul “ketika Sariak menjadi Sarik”. Dalam tulisan tersebut Ridwan Hendri memnceritakan bagaimana nama Sariak dalam bahasa bahasa Minang diganti dengan sarik seolah-olah itu padanan dalam bahasa Indonesia yang benar, padahal antara sariak dalam bahasa Minangkabau dengan sarik dalam bahasa Indonesia tak memiliki arti yang sama. Selain itu juga Ridwan membahas tentang banyaknya nama-nama daerah di Sumatera Barat yang boleh dikatakan di “indonesia” kan sehingga kadangkala merubah arti dan menghilangkan sejarah dari daerah tersebut.

Tulisan Ridwan tersebut mengingatkan kembali akan pengalaman penulis sekitar 5 tahun silam ketika penulis masih menempuh pendidikan di Jatinangor, dimana seorang teman bertanya masalah nama kabupaten Lima Puluh Kota dan Kabupaten Pesisir Selatan (kabupaten asal pendaftaran penulis). Yang dia bayangkan Kabupaten Lima puluh kota adalah kabupaten terbesar dan termaju di Indonesia, bayangkan saja 50 kota dalam satu kabupaten, jika kita bandingkan dengan provinsi di pulau jawa, Jawa Timur contohnya baru mempunyai sekitar 9 kota saja. Jika kita lihat sejarah dari kabupaten yang juga dikenal sebagai luhak nan bungsu di ranah Minang ini nama dalam bahasa Minang adalah Limo Puluah Koto. memang benar “limo puluah” sama artinya dengan “Lima Puluh”, tapi “koto” sangat jauh berbeda dengan “kota” karena “koto” lebih kecil dari wilayah nagari/desa. 
 
Lain halnya dengan kabupaten Pesisir Selatan, pertanyaan mengenai nama kabupaten ini bermula ketika dia bercerita akan pengalaman dia ke Sumatera Barat yang mana di sangat mengagumi tempat-tempat wisata yang ada, mulai dari lembah anai, jam gadang, istano basa pagaruyuang dan tempat lainnya. dia seakan sudah keliling Sumatera Barat, kemudian penulis tanya “apa kamu ke jambatan aka”, dia malah balik bertanya “di daerah Mana?” “di daerah saya, Kabupaten Pesisir selatan” jawab penulis. Dia seakan bingung dan kembali bertanya ”kabupaten baru ya pemekaran dari kabupaten apa?”. 
 
Mengapa dia tidak kenal dengan Pesisir Selatan dan mengira itu kabupaten hasil pemekaran - memang sekitar tahun tersebut lagi “booming”nya daerah pemekaran di Indonesia. apakah dia yang tidak pernah lihat atlas atau peta Sumbar, atau karena nama Pesisir Selatan tidak ada ciri khas Minang-nya?

Satu lagi, pengalaman akan nama Pesisir Selatan terjadi saat masuknya semester tiga sekitar bulan Februari 2009 kemarin, ketika awal pertemuan, dosen LT begitu lama melihat daftra mahasiswa yang dilengkapi photo dan nama daerah masing-masing. Pertanyaan pertama seingat penulis adalah “ sepertinya bapak/ibu berasal dari seluruh indonesia”. Serentak kami jawab ‘ya pak”, ” Tapi saya mau tau...Mana Bapak Mar Alamsyah”..wah ni bapak mau nanya apa ya...”Ya saya pak” jawab penulis, "anda berasal dari Kabupaten Pesisir Selatan?”, “ya Pak”.. Pertanyaan terakhirnya “ Pesisir Selatan ini di Provinsi mana ya??”’ grrrrhh.... Hihikkk..suara teman kelas tertawa seakan tertahan..tanpa menunggu lama saya jawab dengan “Provinsi Sumatera Barat pak!!!” Pak LT kembali bicara “oooo..saya kira ada pemekaran di daerah pantai selatan pulau jawa, mungkin cilacap atau bantul, atau gunung kidul karena bagi orang jawa pesisir selatan itu ya daerah sekitar pantai selatan”. Kesimpulan dari ketidaktahuan terhadap Pesisir Selatan tersebut karena namanya lebih tepat menunjukan suatu letak secara geografis yaitu daerah pesisir bagian selatan.

Memang tak ada salah dengan nama pesisir selatan, apalagi kabupaten ini dari awal berdirinya sudah langsung di Indonesikan bukan dari bahasa Minang. Nama Pesisir Selatan berasal dari istilah di masa penjajahan Belanda dulu, yaitu afdeling zuid beneden landen (dataran rendah bagian selatan). Ketika itu pada tahun 1903 wilayah Kerajaan Banda Sapuluah, Inderapura/indopuro dan Kerinci dikuasai Belanda, yang lalu menjadi afdeling dan dipimpin asisten residen yang berkedudukan di Inderapura sebagai pusat pemerintahan. Melalui Undang-Undang (UU) Nomor 12 Tahun 1956 daerah ini berstatus Kabupaten Daerah Tingkat II Pesisir Selatan Kerinci (PSK), dan baru pada tahun 1957 sah menyandang nama Pesisir Selatan. Tapi alangkah enak didengar jika ada ciri khas Minang-nya, mungkin Pasisie, Pasisie Salatan atau juga Banda Sapuluah Indopuro.

Tidak hanya pada tingkat Kabupaten/Kota saja, seperti Kabupaten Tanah Datar dari nama Tanah Data, Kota Bukittingi yang dialihkan dari nama aslinya Bukik Tinggi,  “gemar” mengalihkan nama daerah juga terjadi pada nama kecamatan dan nagari. Lihat saja di kabupaten Agam ada nama kecamatan Matur yang diambil dari nama Matua, dalam Kamus bahasa Indonesia Matur berarti sebutan untuk istri raja, apakah Matua juga mempunyai arti yang sama??. selain itu di Pesisir Selatan, nama kecamatan Batang Kapeh menjadi Batang Kapas, Ranah Pasisie menjadi Ranah Pesisir, Nagari Surantiah diganti Surantih, Pasa Baru menjadi Pasar Baru. Aie Haji menjadi Air Haji.

Pengalihan nama-nama daerah ini apakah karena takut orang di luar Sumatera Barat tidak bisa atau salah mengucapkannya.. Sebenarnya tidak juga, mereka pasti akan berusaha untuk bisa mengucapkannya dengan baik seperti ketika kita berusaha mengucapkan nama Cileunyi dan Cicaheum (daerah Bandung) dengan benar. Ketika Cileunyi tak harus dibaca lengkap tapi cukup Cilenyi sesuai penuturan khas orang sunda. Begitu juga penyebutan nama Kota Lhokseumawe yang tergolong sukar diucapkan dengan benar oleh orang dari luar NAD karena ucapannya sesuai aksen orang Aceh.

Atau mungkinkah karena suatu bentuk kecintaan orang Minangkabau terhadap Indonesia?..tidak juga!!, apakah cinta tanah air harus mengganti nama??apakah kecintaan terhadap tanah air, Presiden pertama kita Soekarno mengganti nama beliau dengan Soekarna?? (heheh...), mengganti /merubah nama Minang ke Indonesia tak ada kaitannya dengan cinta tanah air, bukankah Indonesia itu menjadi besar karena kuatnya budaya dan nilai sejarah dari berdirinya.

Jadi, apakah karena latah sehingga tidak sadar akan kekeliruan perubahan nama itu akan menghilangkan sejarah??..menurut penulis ini mendekati benar, tapi apakah ini akan terus kita biarkan sehingga generasi selanjutnya tidak tau apa arti nama daerah mereka. Bagi penulis merubah nama/mengembalikan ke nama Awal, baik itu kabupaten/kota, kecamatan, maupun nagari bukan berarti kita chauvenisme/sifat kedaeran yang berlebihan tapi malah sebagai suatu bentuk cinta Indonesia dengan tetap menjaga sejarah dan tetap sadar bahwa Indonesia ini berdiri dari keberagaman budaya.

Kini tinggal keseriusan kita, apakah kita mau mengubahnya nama tersebut - yang sudah terlanjur di "Indonesia" kan - sekarang, nanti atau tidak akan sama sekali??
Yang pasti generasi akan berganti dan mereka suatu saat akan bertanya, bagaimana dengan sejarah kami.....




"Alamsstp"
Jogja'09

Sabtu, 07 November 2009

Pemekaran Nagari di Kab. Pesisir Selatan tahun 2009



Kabupaten Pesisir Selatan (Pessel) kembali kepemerintahan nagari berdasarkan Perda Kab.Pessel No 17 Tahun 2001 tentang Ketentuan pokok pemerintahan nagari..berdasarkan perda tersebut terbentuklah 36 pemerintahan nagari dengan mengacu pada jumlah nagari sebelum tahun 1979, dalam perjalanannya pada tahun 2005 Pemerintah daerah mencoba memekarkan satu nagari yaitu Nagari Siguntur dengan membentuk nagari Taratak Sungai Lundang, sehingga jumlah nagari di Kabupaten Pesisir Selatan sampai tahun 2007 sebanyak 37 nagari.
Pada tahun 2007 samapi tahun 2008 tercatat sebanyak 13 nagari (dari 37 nagari yanga ada) mengusulkan pemekaran pemerintahan nagari-nya. 13 nagari yang mengusulkan pemekaran pemerintahan nagari tersebut adalah :

Barung Barung Balantai
Nanggalo
Kapuh
Salido
IV Koto Hilir
Amping Parak
Kambang
Lakitan
Sungai Tunu
Punggasan
Inderapura
Tapan, dan
Lunang


Setelah menempuh proses yang panjang dari tahun 2007 dan persetujuan dari DPRD Kab. Pessel dan berdasarkan surat Pemprov Sumbar tertuang dalam surat Nomor 188.342/821/Huk-2009 tanggal 5 juni 2009 perihal klarifikasi Peraturan daerah, yang mana pemprov mendukung langkah pemerintah Pessel dalam memekarkan pemerintahan nagari di Kab. Pessel, maka dari 13 nagari yang mngusulkan pemekaran tersebut terbentuklah 52 pemerintahan Nagari baru (termasuk 13 nagari induk) sehingga jumlah pemerintahan nagari di Kab. Pessel sampai tahun 2009 ini sebnayak 76 buah. Pemerintahan nagari tersebut akhirnya disahkan dengan Perda Kabupaten Pesisir Selatan (perda nomor 2 sampai nomor 53 Tahun 2009) Nama-nama nagari hasil pemekaran (dan nagari induknya) tersebut adalah sebagai berikut :

(Barung Barung Balantai):
Barung Barung Balantai
Barung Barung Balantai Selatan

(Nanggalo) :
Nanggalo
Mandeh
 

(Kapuh)
Kapuh
Kapuh Utara


(Salido ):
Salido
Bungo Pasang Salido
Sago Salido

(IV Koto Hilir ):
Koto Tuo IV Koto Hilir
Koto Nan Duo IV Koto Hilir
Koto Nan Tigo IV Koto Hilir

(Amping Parak ):
Amping Parak Barat
Amping Parak Timur
 

(Kambang) :
Kambang Utara
Kambang Timur
Kambang Tengah
Kambang Barat

(Lakitan):
Lakitan Utara
Lakitan Selatan
Lakitan Timur
Lakitan
Lakitan Tengah

(Sungai Tunu):
Sungai Tunu Utara
Sungai Tunu Selatan
Sungai Tunu Barat

( Punggasan):
Punggasan Utara
Punggasan Timur
Padang XI Punggasan
Pasar Punggasan
Lagan Mudik Punggasan
Lagan Hilir Punggasan


(Inderapura):
Muaro Sakai Inderapura
Tiga sepakat Inderapura
Inderapura Barat
Hilalang Inderapura
Kudo Kudo Inderapura
Inderapura Selatan
Inderapura Timur
Inderapura Utara

(Tapan):
Pasar Tapan
Sungai Gambir Sako Tapan
Talang Koto Pulai Tapan
Lubuk Limungan Tapan
Kubu Tapan
Binjai Tapan
Batang Arah Tapan
Ampang Tulak Tapan

(Lunang):
Lunang Utara
Lunang
Lunang Selatan
Lunang Barat




Rabu, 04 November 2009

Istana / Rumah Gadang yang tak bergonjong :

Tak banyak yang tahu dimana itu Lunang, dan tidak pula banyak yang menulis sejarah tentang Lunang, apa yag mearik dari Lunang. Memang diakui Lunang masih jauh dari pengetahuan masyarakat Sumatera Barat. Sejarah masa lalu yang yang memaksa lunang harus disembunyikan. Sejarah tentang nagari Lunang baru terkuak ke publik baru pada awal tahun 80-an dengan diresmikannya “Rumah Gadang Mande Rubiah” sebagai Museum Lokal di Sumatera Barat dan wisata Budaya oleh Bapak Azwar Anas (Gubernur Sumbar).
Dimana itu Lunang...?
Lunang merupakan salah satu nagari dari 37 nagari (secara adat) di Kabupaten Pesisir Selatan/pasisie yang secara administrasi masuk dalam wilayah Kecamatan Lunang Silaut. Kecamatan ini merupakan kecamatan paling selatan Prov. Sumbar dan berbatasan dengan Kabupaten Mukomuko Prov. Bengkulu. Jarak tempuh dari :
- Dari Kota Padang : ± 232 km
- Dari Kota Painan : ± 160 km
- Dari Tapan : ± 18 km
- Dari Kota sungai penuh , Kerinci : ± 65 km
- Dari Mukomuko : ± 60 km

Apa yang menarik dari yang namanya Lunang..?
Secara geografis lunang sangat jauh dari jangkauan masyarakat Minangkabau Sumatera Barat, apalagi dari wilayah Darek, sehingga keberadaan sejarah Lunang banyak yang tidak tahu. Boleh dikatakan lebih dulu diketahui oleh masyarakat di Kabupaten Mukomuko(bengkulu) dan Kerinci(Jambi). Walaupun kedua daerah ini terpisah secara adminstrasi pemerintahan, namun mereka mempunyai sejarah yang satu rumpun dengan kerajaan di Pesisir Selatan dahulunya yaitu kerajaan Inderapura (runtuh sekitar tahun 1792 ) terutama masyarakat Mukomuko yang dilihat secara bahasa dan adat yang dipakai sama dengan masayarakat Lunang, Tapan, Inderapura, dan silaut.
Di Nagari Lunang terdapat 8 suku, sehingga penghulu Suku yang bergelar Datuak di Lunang dikenal dengan sebutan panghulu nan salapan. Suku- suku tersebut terdiri dari :
• Malayu
• Malayu Durian (dikenal juga dengan malayu rajo)
• Malayu Gadang Ranatu Kataka
• Malayu Gadang Kumbuang
• Malayu Tangah
• Malayu Kecik
• Caniago Mangkuto
• Caniago Patih
Secara adat, lunang memadukan antara dua keselarasan Koto Piliang dan Bodi Caniago, Sejarah Lunang memang sangat menarik untuk diketahui, mulai dari kultur masyarakatnya (terutama bahasa) yang berbeda –bahasa lunang hampir sama dengan bahasa indrapura, mukomoko bengkulu - dengan masyarakat Minang pada umumnya juga masalah Rumah Gadang yang tidak punya gonjong. Selain itu juga sebuah komplek pemakaman raja-raja (tampat) Lunang mulai dari raja perempuan Minangkabau, Bundo Kanduang sampai pewarisnya yang ke-tujuh (labai daulat). sekarang pewarisnya bergelar Mande Rubiah.


Dilunang ada komplek makam –disebut dengan tampat – Bundo Kanduang. Dalam komplek inti ada makam Bundo Kanduang dan pewaris-pewarisnya yaitu : Dang Tuangku, Puti Bungsu, ,Mande Rubiah Tuo, Labai Daulat. Sedangkan kompleks diluarnya terdapat makam-makam kelerga terdekat. Kompleks makam ini terletak 200 m sebelah utara Rumah Gadang Mande Rubiah. Selain itu juga ada makam Cindur Mato/Cindua Mato 100m disebelah barat Rumah Gadang Mande Rubiah. Dalam rumah gadang terdapat benda2 pusaka peninggalan bundo dan keturunannya, diantaranya, senjata tajam (keris, pedang, tombak, senapan), perhiasan (gelang,kalung, baju kebesaran), penglengkapan rumah tangga (sanduak/sendok,carano/tempat sirih,dulang). Selain itu juga ada telur besar yang dinamakan telur garudo dan tanduk kerbau yang dipajang pada tiang-tiang rumah gadang.
Rumah gadang ini tidak seperti lazimnya rumah gadang di sumatera barat, karena secara fisik sangat berbeda. Pertama, atap tidak bergonjong walaupun dahulunya sama-sama berasal dari ijuk. Kedua, dindingnya tidak terbuat dari kayu yang mempunyai ukiran-ukiran bagus dan mahal, tetapi hanya dari kulit kayu yang berwarna agak kecoklatan. Ketiga, tidak ada pembagian ruangan secara spesifik, hanya ada 3 ruangan, ruangan depan yang memanjang dari timut ke barat (tempat menyimpan benda-benda pusaka) yang merupakan ruangan tempat rapat ninik mamak serta elemen nagari setiap hari kedua Idul fitri. Ruangan kedua yang berada bagian selatan yang juga menyimpan barang-barang pusaka, dalam acara adat biasanya tempat duduk para ibu-ibu. Dan ruangan ketiga adalah sebuah kamar kecil yang tidak satupun orang boleh memasukinya, kecuali mande rubiah.
Mengapa rumah ini berbeda? Keberadaan rumah ini sebenarnya tidak lepas dari sejarah mihrabnya/perjalanan Bundo kanduang beserta pewarisnya dari Pagaruyung menuju -- banyak diceritakan dalam kaba dan banyak diyakini orang ke langit -- ke Lunang. Bundo kanduang bukan sengaja menyembunyikan identitas secara luar tanpa menghilangkan nilai budaya yang ada. Walaupun tidak ada istana megah namun namanya masih tetap eksis dengan sebutan lain mande rubiah. Tuahnya sebagi raja masih melekat, walupun tidak duduk disingasana dan menyusun strategi, namun tuah itu ada dalam bentuk tempat meminta nasehat dan tempat menanyakan obat-obat. Bahkan tuah ini sampai pewaris ke 8 (rakinah) masih ada. Maka untuk menyembunyikan identitas tadi bundo kanduang serta pewarisnya membuat sebuah istana kecil yang tidak bergonjong. Zaman ini lunang disebut sebagai bilik/kamar dalam, sedangkan kerajaan inderapura disebut ruangan luar, karena memang bundo kanduang mendapat perlindungan dari raja-raja Inderapura. Maka sejak itu keberadaan rumah gadang mande rubiah ini sengaja disembunyikan dan tidak banyak diketahui orang khususnya oleh daerah pagaruyung.
eksistensi mande rubiah dan apa saja bentuk-bentuknya di nagari lunang :
1. Tempat meminta nasehat dari penghulu suku. Jika ada suatu perundingan yang sudah disepakati oleh penghulu, maka tempat terakhir yang dimentakan pendapatnya – minta persetujuan –adalah mande rubiah.
2. Jika ada pasangan yang mau melangsungkan helat pernikahan, maka sebelum nikah terlebih dahulu di limau –mandi dengan ramuan dari jeruk- di sungai lunang oleh mande rubiah.
3. Rumah gadang ini dugunakan juga untuk acara maulid nabi, menyambut bulan puasa.
4. Dll..

“MANDE RUBIAH” DI LUNANG SILAUT (PESSEL) HUBUNGANNYA DENGAN BUNDO KANDUANG DI KERAJAAN PAGARUYUNG

Cerita singkat* :


Nama Mande Rubiah dan Bundo kanduang menjadi panutan bagi sebagian besar masyarakat Minang, mande Rubiah atau Bundo Kanduang menjadi teladan dalam bersikap dan bertingkah laku dalam kehidupan sehari-hari. Istilah mande berasal dari sebuah profil seorang ibu yang ramah, pengasih, penyayang (sifat rabb yang menjadi rububiyah).
Mande Rubiah dan Bundo Kanduang sebenarnya adalah dua nama untuk satu orang. Bundo Kanduang adalah nama ketika berada di Pagaruyung, sedangkan Mande Rubiah merupakan nama setelah kembali kekampung asal, yaitu Lunang (hulu Indopuro). Maka perlu kita meninjau kembali kutipan dari Teks Hikayat Tuanku Nan Muda Pagaruyung, yang dikenal dengan kaba Cindua Mato, sebuah cerita klasik bernuansa sejarah kerajaan Pagaruyung di dalam Alam Minangkabau beberapa abad yang lalu.
Ketika sutan Rumandung yang bergelar Dang Tuangku, masih berumur 5 tahun dan Cindua Mato berumur 4 tahun 2 bulan, Basa Ampek Balai mengadakan pertemuan besar dibukit gombak, pada pertemuan ini, secara bulat dimufakati untuk mengangkat Romandung sebagai pemimpin Anjung Rajo Alam. Karena Romandung masih kecil maka dimufakati pula untuk mengangkat Kambang Daro Marani sebagai pelaksana tugas sehari-hari dari pimpinan Anjung Rajo Alam dengan gelar penghormatan Bundo Kanduang.
Masa ini pula dikenal dengan masa kejayaan kerajaan Pagaruyung, karena masyarakatnya hidup dengan makmur dan damai. Islampun telah menjadi panutan bagi masyarakat kalangan dalam istana.
Suatu hari di istana Pagaruyung, Setelah Dang Tuangku menginjak usia dewasa, Bundo Kandung memberi petuah tentang seluk-beluk pemerintahan, hukum, undang-undang, adat istiadat, serta pandangan hidup sebagai orang Minangkabau kepada Dang Tuanku, putra tunggalnya. Saat ini pula Dang Tuangku diangkat sepenuh untuk duduk di singasana menjadi pimpinan Anjung Rajo Alam yang bergelar Tuangku Syah Alam. Oleh Bundo Kandung, Dang Tuanku kemudian diperintahkan menghadiri gelanggang yang diadakan oleh Datuk Bandaro di Sungai Tarab dengan membawa serta Cindua Mato, anak Kambang Bandoari, untuk ditunangkan dengan Puti Lenggo Geni, putri Datuk Bandaro.
Di Sungai Tarab, Cindua Mato mendapat berita dari Si Langkaneh dan Lalaik Tuo, pedagang keliling, bahwa Puti Bungsu, tunangan Dang Tuanku, anak Tuanku Rajo Mudo di Ranah Sikalawi, segera dikawinkan dengan Rangkayo Imbang Jayo, Raja Tanjung Sungai Ngiang. Menurut kabar, diterimanya lamaran Rangkayo Imbang Jayo oleh Tuanku Rajo Mudo disebabkan Dang Tuanku diserang penyakit kulit lalu diasingkan di sebuah pondok di tepi sungai.
Dang Tuanku, Cindua Mato, dan Bundo Kandung sangat terhina dan marah kepada Tuanku Rajo Mudo yang merupakan adik kandung Bundo Kandung sendiri. Karenanya, Bundo Kandung dan keluarga istana Pagaruyung mengadakan rapat besar yang dihadiri oleh Basa Ampek Balai serta Raja Dua Selo. Di dalam rapat diputuskan bahwa Cindua Mato diutus ke Ranah Sikalawi untuk membawa Si Binuang, kerbau istana, sebagai tanda turut gembira karena Puti Bungsu telah mendapatkan jodohnya, tetapi sekaligus sebagai ungkapan rasa sedih karena perjodohan antara Puti Bungsu dengan Dang Tuanku dihancurkan secara sepihak oleh Tuanku Rajo Mudo.
Di luar sepengetahuan Bundo Kandung dan para pembesar Alam Minangkabau, Cindua Mato memperoleh perintah dari Dang Tuanku untuk membawa Puti Bungsu ke Pagaruyung dalam keadaan serta cara bagaimana pun juga.
Melalui cara yang licin, menjelang pernikahannya dengan Rangkayo Imbang Jayo, Puti Bungsu akhirnya “dilarikan” Cindua Mato ke istana Tuan Kadhi di Padang Ganting sebelum kemudian diantarkan ke Pagaruyung. Untuk menghindari kejaran Rangkayo Imbang Jayo, maka Cindua Mato di suruh menghindar ke pantai barat, di hulu batang aia Indopuro yaitu Lunang, Sambil menyelidiki tempat yang akan dijadikan oleh Bundo Kanduang, Dang Tuangku, Puti Bungsu dan perangkat istana lainnya sebagai tempat mengirab.
Karena Cindua mato telah melarikan Puti Bungsu yang akan dinikahkan dengan Rangkayo Imabang Jayo dari Ranah Sikalawi, maka Rangkayo Imbang Jayo malu dan marah sekali, lalu menyerang Pagaruyung, akan tetapi dalam penyerangannya Rangkayo Imbang jayo tewas terbunuh oleh rajo duo selo di dalam pertempuran.
Tiang Bungkuk, ayah Rangkayo Imbang Jayo menuntut balas atas kematian anaknya. Bersama pasukan yang besar, Tiang Bungkuk menyerang Pagaruyung. Untuk menghindari perang dan pertumpahan darah yang lebih besar lagi yang akan mengorbankan banyak rakyatnya, maka Bundo Kandung, Dang Tuanku, dan Puti Bungsu yang sudah menjadi istrinya, meninggalkan Pagaruyung dan mengirab ke tanah asal yaitu di Lunang. Untuk mengihindari kejaran Tiang Bungkuk dan pengikutnya maka dibuatlah suatu berita bahwa Bundo Kandung, Dang Tuangku, Puti Bungsu terbang kelangit.
Cindu mato diperintah oleh Dang Tuangku untuk tetap tinggal di istana, dan Dang Tuangku memberi petunjuk kepada Cindua mato untuk “menyerah” kepada Tiang Bungkuk, lalu Cindua Mato dibawa ke Tanjung Sungai Ngiang untuk menjadi orang suruhannya. Setelah mempelajari kelemahannya, Cindua Mato akhirnya dapat mengalahkan Tiang Bungkuk.

*Zulrahmansyah Daulat Rajo Mudo (putra kedua Mande Rubiah)

Minggu, 01 November 2009


Lirik lagu Mande Rubiah

M a n d e R u b i a h
(dalam Album Ragam Pasisia)
Voc. Vivi Darianti
Cipt.. Zal Syafei

Indak di liek mangko tak tau
indak tau mangko tak sayang
di Lunang jalan ka Bangkahulu
Sinan talatak yo rumah gadang

Mambumbuang tinggi asok kumayan
Asok mambumbunag ateh udaro
banyak nan jadi paninggalan
tando-tando jo kabasaran
patuik dihinok diranuangkan

Rumah Gadang Mande rubiah
tasalubuang tambo jo kisah
Rumah tampek pasinggahan
Tumpuan dagang parantauan

Hari juma’ek ka rumah gadang
Ka Rumah Gadang Mande Rubiah
Dari jauah banyak nan datang,
dari jauah banyak nan tibo
Ka Rumah Gadang Mande Rubiah

(bahasa Indonesia)
tak dilihat maka tak tahu
tak tau maka tak sayang
di Lunang jalan ke Bengkulu
disitu letak Rumah Gadang
asap membubung keatas udara
Membubung tinggi asap kemeyan
banyak barang peninggalan
tanda dan kebesaran
patut dilihat di renungkan
Rumah Gadang Mande Rubiah
terselubung tambo dan kisah
rumah tempat persinggahan
tumpuan dagang di perantauan
hari juma’at ke rumah gadang
ke Rumah Gadang Mande Rubiah
dari jauh banyak yang datang
dari jauh banyak tiba
ke Rumah Gadang Mande Rubiah