Sangat menarik ketika membaca tulisan ridwan hendri dalam Majalah Tempo (edisi 26 Oktober – 1 November 2009 ) dengan judul “ketika Sariak menjadi Sarik”. Dalam tulisan tersebut Ridwan Hendri memnceritakan bagaimana nama Sariak dalam bahasa bahasa Minang diganti dengan sarik seolah-olah itu padanan dalam bahasa Indonesia yang benar, padahal antara sariak dalam bahasa Minangkabau dengan sarik dalam bahasa Indonesia tak memiliki arti yang sama. Selain itu juga Ridwan membahas tentang banyaknya nama-nama daerah di Sumatera Barat yang boleh dikatakan di “indonesia” kan sehingga kadangkala merubah arti dan menghilangkan sejarah dari daerah tersebut.
Tulisan Ridwan tersebut mengingatkan kembali akan pengalaman penulis sekitar 5 tahun silam ketika penulis masih menempuh pendidikan di Jatinangor, dimana seorang teman bertanya masalah nama kabupaten Lima Puluh Kota dan Kabupaten Pesisir Selatan (kabupaten asal pendaftaran penulis). Yang dia bayangkan Kabupaten Lima puluh kota adalah kabupaten terbesar dan termaju di Indonesia, bayangkan saja 50 kota dalam satu kabupaten, jika kita bandingkan dengan provinsi di pulau jawa, Jawa Timur contohnya baru mempunyai sekitar 9 kota saja. Jika kita lihat sejarah dari kabupaten yang juga dikenal sebagai luhak nan bungsu di ranah Minang ini nama dalam bahasa Minang adalah Limo Puluah Koto. memang benar “limo puluah” sama artinya dengan “Lima Puluh”, tapi “koto” sangat jauh berbeda dengan “kota” karena “koto” lebih kecil dari wilayah nagari/desa.
Lain halnya dengan kabupaten Pesisir Selatan, pertanyaan mengenai nama kabupaten ini bermula ketika dia bercerita akan pengalaman dia ke Sumatera Barat yang mana di sangat mengagumi tempat-tempat wisata yang ada, mulai dari lembah anai, jam gadang, istano basa pagaruyuang dan tempat lainnya. dia seakan sudah keliling Sumatera Barat, kemudian penulis tanya “apa kamu ke jambatan aka”, dia malah balik bertanya “di daerah Mana?” “di daerah saya, Kabupaten Pesisir selatan” jawab penulis. Dia seakan bingung dan kembali bertanya ”kabupaten baru ya pemekaran dari kabupaten apa?”.
Mengapa dia tidak kenal dengan Pesisir Selatan dan mengira itu kabupaten hasil pemekaran - memang sekitar tahun tersebut lagi “booming”nya daerah pemekaran di Indonesia. apakah dia yang tidak pernah lihat atlas atau peta Sumbar, atau karena nama Pesisir Selatan tidak ada ciri khas Minang-nya?
Satu lagi, pengalaman akan nama Pesisir Selatan terjadi saat masuknya semester tiga sekitar bulan Februari 2009 kemarin, ketika awal pertemuan, dosen LT begitu lama melihat daftra mahasiswa yang dilengkapi photo dan nama daerah masing-masing. Pertanyaan pertama seingat penulis adalah “ sepertinya bapak/ibu berasal dari seluruh indonesia”. Serentak kami jawab ‘ya pak”, ” Tapi saya mau tau...Mana Bapak Mar Alamsyah”..wah ni bapak mau nanya apa ya...”Ya saya pak” jawab penulis, "anda berasal dari Kabupaten Pesisir Selatan?”, “ya Pak”.. Pertanyaan terakhirnya “ Pesisir Selatan ini di Provinsi mana ya??”’ grrrrhh.... Hihikkk..suara teman kelas tertawa seakan tertahan..tanpa menunggu lama saya jawab dengan “Provinsi Sumatera Barat pak!!!” Pak LT kembali bicara “oooo..saya kira ada pemekaran di daerah pantai selatan pulau jawa, mungkin cilacap atau bantul, atau gunung kidul karena bagi orang jawa pesisir selatan itu ya daerah sekitar pantai selatan”. Kesimpulan dari ketidaktahuan terhadap Pesisir Selatan tersebut karena namanya lebih tepat menunjukan suatu letak secara geografis yaitu daerah pesisir bagian selatan.
Memang tak ada salah dengan nama pesisir selatan, apalagi kabupaten ini dari awal berdirinya sudah langsung di Indonesikan bukan dari bahasa Minang. Nama Pesisir Selatan berasal dari istilah di masa penjajahan Belanda dulu, yaitu afdeling zuid beneden landen (dataran rendah bagian selatan). Ketika itu pada tahun 1903 wilayah Kerajaan Banda Sapuluah, Inderapura/indopuro dan Kerinci dikuasai Belanda, yang lalu menjadi afdeling dan dipimpin asisten residen yang berkedudukan di Inderapura sebagai pusat pemerintahan. Melalui Undang-Undang (UU) Nomor 12 Tahun 1956 daerah ini berstatus Kabupaten Daerah Tingkat II Pesisir Selatan Kerinci (PSK), dan baru pada tahun 1957 sah menyandang nama Pesisir Selatan. Tapi alangkah enak didengar jika ada ciri khas Minang-nya, mungkin Pasisie, Pasisie Salatan atau juga Banda Sapuluah Indopuro.
Tidak hanya pada tingkat Kabupaten/Kota saja, seperti Kabupaten Tanah Datar dari nama Tanah Data, Kota Bukittingi yang dialihkan dari nama aslinya Bukik Tinggi, “gemar” mengalihkan nama daerah juga terjadi pada nama kecamatan dan nagari. Lihat saja di kabupaten Agam ada nama kecamatan Matur yang diambil dari nama Matua, dalam Kamus bahasa Indonesia Matur berarti sebutan untuk istri raja, apakah Matua juga mempunyai arti yang sama??. selain itu di Pesisir Selatan, nama kecamatan Batang Kapeh menjadi Batang Kapas, Ranah Pasisie menjadi Ranah Pesisir, Nagari Surantiah diganti Surantih, Pasa Baru menjadi Pasar Baru. Aie Haji menjadi Air Haji.
Pengalihan nama-nama daerah ini apakah karena takut orang di luar Sumatera Barat tidak bisa atau salah mengucapkannya.. Sebenarnya tidak juga, mereka pasti akan berusaha untuk bisa mengucapkannya dengan baik seperti ketika kita berusaha mengucapkan nama Cileunyi dan Cicaheum (daerah Bandung) dengan benar. Ketika Cileunyi tak harus dibaca lengkap tapi cukup Cilenyi sesuai penuturan khas orang sunda. Begitu juga penyebutan nama Kota Lhokseumawe yang tergolong sukar diucapkan dengan benar oleh orang dari luar NAD karena ucapannya sesuai aksen orang Aceh.
Atau mungkinkah karena suatu bentuk kecintaan orang Minangkabau terhadap Indonesia?..tidak juga!!, apakah cinta tanah air harus mengganti nama??apakah kecintaan terhadap tanah air, Presiden pertama kita Soekarno mengganti nama beliau dengan Soekarna?? (heheh...), mengganti /merubah nama Minang ke Indonesia tak ada kaitannya dengan cinta tanah air, bukankah Indonesia itu menjadi besar karena kuatnya budaya dan nilai sejarah dari berdirinya.
Jadi, apakah karena latah sehingga tidak sadar akan kekeliruan perubahan nama itu akan menghilangkan sejarah??..menurut penulis ini mendekati benar, tapi apakah ini akan terus kita biarkan sehingga generasi selanjutnya tidak tau apa arti nama daerah mereka. Bagi penulis merubah nama/mengembalikan ke nama Awal, baik itu kabupaten/kota, kecamatan, maupun nagari bukan berarti kita chauvenisme/sifat kedaeran yang berlebihan tapi malah sebagai suatu bentuk cinta Indonesia dengan tetap menjaga sejarah dan tetap sadar bahwa Indonesia ini berdiri dari keberagaman budaya.
Kini tinggal keseriusan kita, apakah kita mau mengubahnya nama tersebut - yang sudah terlanjur di "Indonesia" kan - sekarang, nanti atau tidak akan sama sekali??
Yang pasti generasi akan berganti dan mereka suatu saat akan bertanya, bagaimana dengan sejarah kami.....
Jogja'09
Tidak ada komentar:
Posting Komentar